Beberapa hari ini kita disibukkan dengan hasil quickcount pilkada jatim kalau tidak salah dari LSI. Namun jika melihat hasil quickcount publikasi LSI di http://www.lsi.or.id dari kedua pasangan cagub yang bertarung hasilnya sangat tipis. 50,44% vs 49,56%. Dalam publikasi tersebut jelas-jelas LSI menyatakan bahwa standar deviasi (margin of error) yang digunakan +/-2% sehingga menyebabkan LSI tidak bisa menyimpulkan pasangan mana yang terpilih sebagai gubernur Jatim.
Penulis merasa apa yang disampaikan oleh LSI termasuk cukup objektif dalam mengambil sebuah kesimpulan. Namun yang berkembang dilapangan justru sangat memprihatinkan. Kemarin saya membaca sebuah harian nasional terkenal yang menampilkan iklan (statement lebih tepatnya) salah satu calon yang mengklaim kemenangannya di pilkada ini dengan berdasar oleh hasil quick count dan data-data yang dimiliki.
Jika statement itu berdasar data-data rekap hasil pilkada penulis pikir boleh-boleh saja cagub itu mengklaim kemenangannya (terlepas dari valid tidaknya data yang dimiliki) namun lain perkara jika yang dijadikan dasar adalah hasil quickcount. dengan hasil quickcount tersebut mustahil menentukan siapa pemenangnya dengan selisih yang begitu tipis. Mungkin masyarakat perlu disadarkan bahwa hasil quickcount ini bisa digunakan jika selisih perolehan suara yang didapat signifikan berbeda.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa perhitungan quickcount tersebut selalu menggunakan sample populasi bukan menggunakan populasi sebenarnya dalam mengestimasi sebuah perhitungan suara, sehingga hasil quickcount masih ada kemungkinan kekeliruan. secanggih-canggih metode yang digunakan pasti akan tetap menghasilkan kesalahan selama metode tersebut menggunakan sample dalam dasar perhitungannnya.
Quickcount is not the real count